A.
Periode Pertama KH. Muntaha bin Nida’ Muhammad
(1832-1859)
Pada tahun 1830 Pangeran Diponegoro di tangkap atas tipu daya
Belanda di Magelang, termasuk para pengawalnya juga dilucuti. Diantara prajurit
pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari Belanda adalah Raden Hadiwijaya
dengan nama samaran KH. Muntaha bin Nida’Muhammad. Pada tahun 1832, beliau tiba
di Desa Kalibeber yang waktu itu sebagai Ibukota Kawedanan Garung. Beliau diterima
oleh Mbah Glondong Jogomenggolo, Beliau mendirikan Masjid dan Padepokan Santri
di Dusun Karangsari, Ngebrak Kalibeber (di pinggir Sungai Prupuk) yang sekarang
dijadikan makam keluarga Kyai.
Ditempat ini beliau mengajarkan agama islam kepada anak-anak dan
masyarakat sekitar. Ilmu pokok yang diajarkan adalah Baca tulis Al-Qur’an,
Tauhid dan Fiqih. Dengan penuh ketekunan, keuletan dan kesabaran, masyarakat
Kalibeber berangsur-angsur memeluk agama islam atas kesadaran mereka sendiri. Mereka
meninggalkan adat istiadat buruknya seperti berjudi, menyabung ayam, minum
khomr dan lain-lain. Karena Padepokan Santri lama kelamaan tidak mampu
menampung banyaknya santri dan terkena banjir sungai Prupuk, maka kegiatan
pesantren dipindahkan ketempat sekarang yang yang dinamai Kampung Kauman,
Kalibeber. Sedangkan yang tinggal di padepokan baru yang tidak mau secara
sukarela memeluk islam, atas kemauan sendiri banyak yang meninggalkan kampung
itu. Daerah selatan yang semula di uni oleh Etnis China ahirnya ditinggalkan penghuninya,
dan nama Gang Pecinan (gang dimana saya tinggal, yang sekarang menjadi Kampung Karang
Kembang) sampai sekarang masih dilestarikan. KH. Muntaha
wafat pada tahun 1860, setelah 26 tahun memimpin pesantren. Beliau digantikan
oleh putranya KH. Abdurrochim bin KH. Muntaha.
B.
Periode ke-Dua KH. Abdurrochim (1860-1916)
Mulai tahun 1860, KH. Abdurrochim bin KH. Muntaha menerima estafet
tugas mulia memimpin pesantren dari ayahnya. Beliau adalah seorang Kiyai yang
ahli dalam bidang pertanian dan tidak suka berpolitik praktis. Beliau juga ahli
Tasawuf. Sejak muda, Beliau telah dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan
menyiarkan islam dan memimpin pesantren. Beliau pernah nyantri di Ponpes K.
Abdullah bin KH. Mustahal Jetis, Parakan, Temanggung, bahkan Beliau dijadikan
menantunya. Pada masa kepemimpinan KH. Abdurrochim ini, Masjid Baiturrahim
sudah pernah mengalami perpindahan 3 tempat, yaitu yang pertama di Dusun
Ngebrak, waktu belum ada santri yang menetap (yang sekarang menjadi makam
keluarga, Karang Sari) , yang ke dua di Kebun Langgar. Saat itu santrinya baru
8 orang (yang sekarang menjadi kompleks pesantren putra Blok J dan K), kemudian
yang terahir adalah yang biasa kita lihat sekarang ini (Kampung Kauman,
Kalibeber). Dibawah kepemimpinan beliau, pesantren semakin maju. Satu hal yang
paling menarik dari Beliau adalah keahlian dalam menulis Al-Qur’an. Sehingga ketika
Beliau pergi berhaji, selam dalam perjalanan Beliau menulis Qur’an dengan
tangan beliau sendiri. Sampai ketika Beliau tiba di kampung, halaman penulissan
Al-Qur’an tersebut dapat selesai sempurna 30 juz. Dalam memimpin pesantren, Beliau
masih melestarikan system dan materi pendidikan peninggalan ayahandanya.
Bertepatan pada tanggal 3 Syawal 1337 H atau 1916 M, KH. Abdurrochim wafat dan
di makamkan di Karangsari, Kalibeber. Sepeninggal Beliau, kepemimpinan
pesantren di pegang oleh putranya yaitu KH. Asy’ari bin KH. Abdurrochim.
C.
Periode ke-Tiga KH. Asy’ari bin KH. Abdurrochim
(1917-1949)
KH. Asy’ari mempunyai dua saudara, yaitu KH. Marzuki dan Nyai Hj.
Maemunah (isteri KH. Syuchaimi dari Malaysia). Beliau mempunyai wiridan rutin
membaca Dalilul Khoirot. Kemampuan Beliau pergi selalu membawa kitab tersebut.
Beliau mempunyai dua isteri, yaitu Nyai Hj. Safinah (ibu kandug KH. Muntaha)
dan Nyai Hj. Supi’ah (ibu kandung KH. Mustahal Asy’ari). Beliau pernah nyantri
di Krapyak Yogyakarta, dan ketika itu Beliau di ajak oleh KH Munawir untuk
mengikuti (nderek’ake) menuntut ilmu di Mekah selama kurang lebih 17 tahun.
Pada saat nyantri di Mekah inilah Beliau rutin membaca Al-Qur’an, bahkan setiap
hari bisa Khatam. Selain itu, Beliau juga pernah nyantri di Somolangu Kebumen
dan Termas Pacitan. Beliau meneruskan kepemimpinan ayahandanya, pada saat itu
Indonesa telah melahirkan gerakan-gerakan nasional. Pada tahun-tahun ahir
kehidupan Beliau, Indonesia sedang gigih-gigihnya menentang kembali penjajahan
belanda. Oleh karena itu, pesantren mengalami masa surut. Sebagian santrinya
ikut sebagai gerilya melawan penjajah. Pada aksi polisionil ke dua (Agresi
Militer Belanda II) itu, Belanda menyerang sampai ke wilayah Wonosobo, bahkan
sampai ke Desa Dero Ngisor (kurang lebih 5 KM dari Desa Kalibeber sebelah
barat). Ponpes pun tak luput dari amukan Belanda, bahkan Al-Qur’an hasil
tulisan tangan ayahnda Beliau (KH. Abdurochim) ikut dibakar. Sementara itu, KH.
Asy’ari yang sudah lanjut usia, terpaksa mengungsi ke Desa Dero Duwur (kurang
lebih 8 KM dari Desa Kalibeber). Ternyata Belanda tidak berani meneruskan
pengejaran Ulama’ ini sampai ke tempat pengungsian. Pada saat itu, beliau
sedang sakit keras dan kemudian wafat dalam pengungsian dan dimakamkan disana
pada tanggal 13 Dzulhijah 1371 H atau 1949 M.
Menurut satu sumber yang dapat dipercaya, termasuk dari
keistimewaan beliau adalah suatu ketika Masjid dan Ponpes di bom oleh Belanda,
namun berkat doa Beliau, bom tersebut tidak meledak dan malah berubah menjadi
singkong. Sepeninggalnya Beliau, kepemimpinan Pesantren di pegang oleh putranya
yaitu KH. Muntaha Alh.
D.
Periode ke-Empat
1. KH. Muntaha Alh bin KH. Asy’ari
KH. Muntaha Alh atau yang sering
di panggil dengan sebutan Mbah Mun adalah seorang ulama’ legendaries dan
kharismatik. Beliau dijuluki sang maestro Al-Qur’an. Dibawah kepemimpinan
Beliau inilah Al-Asy’ariyyah menemui kemajuan yang sangat pesat, dengan
pertambahan santri yang menjadi ribuan dan juga pertambahan lembaga-lembaga
pendidikan dibawah naungan Yayasan Al-Asy’ariyyah. Dan dengan satu karya
fenomenal yaitu Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an terbesar di dunia) yang kini
disimpan di bait Al-Qur’an Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Beliau juga adalah sosok ulama’
yang juga pandai berpolitik. Semasa masih muda, Beliau juga pernah menjadi
anggota konstituante dari fraksi NU. Meskipun Beliau pandai berpolitik, tapi
Beliau bukanlah politisi. Garis politik Beliau adalah mengutamakan kemaslahatan
umat daripada sekedar kepentingan atau ambisi pribadi. Beliau juga seorang
pejuang kemerdekaan, Beliau pernah ikut pertempuran di Palagan Ambarawa sebagai
Komandan BMT (Barisan Muslim Temanggung). Mbah Mun adalah seorang Ulama’ yang
serius dan kreatif, sederhana, pemurah, dan seorang pribadi yang berahlakul
karimah. Orang-orang menyebut berhati segara (laut), hatinya bagai samudra luas
dan seperti air. Setinggi apapun tempatnya, air akan mengalir kearah dan tempat
yang lebih rendah.
Dalam perjuangan memasyarakatkan
Al-Qur’an, Beliau mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal Al-Qur’an dan pengajian
Al-Qur’an (Jama’atul Qur’an wa Diraasat Al-Qur’an atau YJHQ) yang menghimpun
para Hfidz Hafidzah se Kabupaten Wonosobo. Beliau sering menasehati
murid-muridnya untuk menghatamkan Al-Qur’an minimal seminggu sekali. Beliau
juga penyusun Buku Tafsir Maudlu’I yang berjudul Tafsir Al-Muntaha.
Beliau adalah hamba Allah dalam
arti yang sebenarnya. Dalam zuhud dan taqwa, Beliau telah sampai pada maqam
ma’rifat, keyakinan hatinya begitu tinggi sehingga seluruh hidupnya penuh
dengan ketaatan kepada Allah SWT. Jiwa dan makna ma’rifat Beliau berbeda sekali
dari sikap hidup para zahid yang menjauhi dunia. Sebaliknya ma’rifat daya tarik
Mbah Muntaha adalah ma’rofat yang positif dan dinamis, ykni penuh perhatian dan
pemahaman terhadap masalah-masalah yang ada disekitarnya. Banyak wali yang
hidup zuhud dan menjauhi dunia. Tetapi Beliau adalah wali yang Zahid dan
membangun dunia.
Sejak Ponpes di pimpin oleh
Beliau, berbagai langkah inovatif dan pengembanagn mulai dilkaukan di berbagai
aspek. Sehingga jika kita sekarang lihat perkembangan pesantren ini tidak lain
adalah karena jasa dan perjuangan Beliau. Pengembangan itu antara lain dalam
masa-masa awalnya, pesantren yang lebih menghususkan pada pengkajian dan
hafalan Al-Qur’an masih tetap dipertahankan bahkan lebih dikembangkan lagi.
Sehingga dalam waktu tidak lama, jumlah santri pun bertambah banyak.
2. KH. Mustahal Asy’ari bin KH. Asy’ari
Apabila kita membicarakan KH.
Muntaha Alh, maka tidak akan berpisah dari Tokoh penampingnya, yaitu KH.
Mustahal Asy’ari (adik Beliau). Beliau dilahirkan pada tahun 1926 (14 tahun
lebih muda dari KH. Muntaha). Beliau mengawali menuntut ilmu dibawah bimbingan
langsung dari ke dua orangtuanya sendiri. Kemudian Beliau mesantren pertama
kali kepada Syech KH. Muntaha Parakan Temanggung pada tahun 1946 selama 1
tahun. Kemudian Beliau meneruskan nyantri di Lasem tahun 1947 sampai 1951.
Setelah itu, Beliau memperdalam ilmu di Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
dibawah bimbingan langsung KH. Munawwir selama 3 tahun. Selama mesantren,
Beliau “tirakat” dengan tidak pernah makan nasi selama 13 tahun. Setelah dirasa
cukup,Beliau pulang ke rumah untuk membantu dakwah memperjuangkan syari’at
islam di kampong halamannya, yaitu dengan mengawali mendirikan TK dan MI
Ma’arif . Pada tahun 1958, Beliau melaksanakan sunnah nabi. Yaitu melangsungkan
pernikahan dengan Nyai Tisfiyyah dari Kertijayan, Buaran, Pekalongan. Dari
pernikahan ini, Beliau dikaruniai 6 orang putra. Beliau pernah menjabat sebagai
ketua NU , Ketua Fatayat, Ketua Muslimat dan Ketua GP Ansor Cabang Wonosobo.
Disampin itu, Beliau adalah sebagai pegawai KUA. Beliau juga menjabat sebagai
anggota DPRD Kabupaten Wonosobo pada tahun 1961-1966. Hal yang patut diteladani
dari Beliau adalah keistikomahan Beliau, salahsatunya adalah dalam hal shalat 5
waktu. Beliau selalu aktif menjadi imam harian di Masjid Baiturrochim.
E.
Period ke-Lima (sekarang) KH. Achmad Faqih Muntaha bin
KH. Muntaha
Beliau adalah putra sulung KH. Muntaha Alh dari istri yang bernama
Nyai Hj Maiyan Jariyah. Beliau lahir di Kalibeber pada tanggal 3 Maret 1955.
Beliau akrab dipanggil dengan sebutan Abah Faqih. Dari pernikahannya, Beliau di
karuniai 5 putra dan 1 putri, yaitu :
a. H.
Abdurrohman Al-Asy’ari, Alh, S.H.I
b. H.
Khairullah Al-Mujtaba, Alh
c.
Siti
Marliyah
d.
Nuruzzaman
e.
Fadlurrohman
Al-Faqih
f.
Ahmad
Isbat Caesar
Putra-putri
Beliau sudah ada yang menyelesaikan pendidikan baik formal maupun informal,
baik S1 mauput Tahfidzul Qur’an dan juga pondok pesantren. Bahkan putra Beliau
yang pertama dan kedua adalah alumnus Yaman”Ribat Ta’lim Khadzral Maut” dibawah
asuhan Habib Salim As-Satiri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : Buku Profil PPTQ Al-Asy’ariyyah,
Tahun 2005
0 comments:
Post a Comment